Hakekat Solidaritas Sosial Gereja
Pastor Laurentius Tarpin, OSC., dalam landasan teologis-biblisnya, menjelaskan bahwa solidaritas selalu mengandung konsep peduli terhadap sesama, teman, atau orang lain; sama seperti Allah yang peduli, yang telah memberikan Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia. Sebagai suatu sikap, solidaritas sosial tidak mengandaikan adanya pihak kuat atau lemah, kaya atau miskin; tetapi lebih pada keterlibatan satu dengan yang lain. Bahkan solidaritas tidak hanya berhenti pada pemberian atau bantuan karitatif yang bersifat sementara, namun lebih pada pendampingan, pembebasan serta pengentasan masalah-masalah hidup yang dialami sesama.
Beriman pada Allah jangan hanya berhenti pada praktek-praktek keagamaan, ritus-ritus doa atau liturgi semata tetapi bagaimana relasi intens dengan Allah itu dinyatakan dalam hidup bermasyarakat. Kualitas iman akan menjadi penuh ketika ada keseimbangan antara dimensi “altar” dan dimensi “pasar”. Nabi Yesaya mengkritik keras praktek-praktek keagamaan yang menekankan aspek ritual yang mengabaikan tuntutan keadilan. Yang dikehendaki Allah bukan kurban bakaran dan persembahan, tetapi belas kasihan (bdk. Hosea 6:6). “Dari sini ditunjukkan bahwa esensi hidup keagamaan adalah kesatuan erat antara kegiatan ritual dan tuntutan etis-humanis,” demikian ungkap Pastor Tarpin.
Landasan Biblis – Teologis
Bermula dari kisah pembebasan Bangsa Israel dari perbudakan Mesir dalam Perjanjian Lama, Pastor Tarpin menunjukkan bukti-bukti kepedulian dan keberpihakan Allah pada kaum lemah. Seruan penderitaan Umat Israel membangkitkan rasa belas kasih Allah untuk membebasan mereka. “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya Aku mengetahui penderitaan mereka.”(Kel. 3:7). Kemudian, Allah mengikat perjanjian dengan mereka bahwa Israel harus hidup berdasarkan hukum Tuhan, hukum yang menyelamatkan.
Bentuk solidaritas Allah terhadap manusia yang lebih jelas tampak dalam misteri inkarnasi (Allah yang menjadi manusia). Dalam inkarnasi, Allah mengosongkan diri; hadir dan terlibat dalam kemanusian Yesus, menyentuh dan berjalan bersama manusia. Solidaritas Allah dengan orang-orang kecil, tersingkir semakin nyata dalam hidup, ajaran dan pelayanan Yesus yang menghadirkan Kerajaan Allah, sebagaimana dikisahkan dalam Injil. Sebagai suatu contoh, kisah penyembuhan orang kusta dalam Mat. 9:9-13, Mrk. 10:46-25, Luk. 10:25-37 merupakan restorasi martabat manusia yang dilakukan oleh Yesus. Tindakan penyembuhan dan persahabatan meja dengan orang-orang sakit dan mereka yang disingkirkan membawa mereka pada martabat sebagai manusia, mengembalikan mereka pada komunitas dan keluarganya. Orang-orang yang diasingkan karena penyakit dikembalikan pada keluarga dan lingkungan masyarakat.
Belas kasih Yesus kepada kaum lemah miskin menjadi model bagi solidaritas dan belas kasih Gereja. Sebagai ibu dan guru kebenaran Gereja merangkul semua orang, menunjukkan keprihatinan kepada mereka yang disingkirkan dan menjadi Gereja untuk dan bersama kaum miskin (the preferential option for the poor). Solidaritas dan kepedulian sosial Gereja juga mendapat inspirasi dari cara hidup umat Gereja Perdana di mana mereka hidup dengan berbagi. Bukan hanya pengalaman rohani dan pemecahan roti perjamuan, umat Gereja Perdana berbagi milik sehingga di antara mereka tidak berkekurangan (bdk. Kis. 2: 41-47).
Keteladanan akan solidaritas Gereja kemudian banyak ditunjukkan seperti misalnya karya karitatif Ibu Teresa dari Kalkuta bersama konggregasinya. Aksi-aksi solidaritas seperti yang telah diteladankan tadi diharapkan terus menginspirasi Gereja dan seluruh umat untuk merangkul, berjalan bersama dengan mereka yang lemah.
Dimensi Sosial Iman
Iman kepada Allah tidak hanya berupa ritus-ritus doa, kesucian pribadi atau hubungan manusia dengan Allah; tetapi juga menyangkut hubungan manusia dengan sesama dan lingkungan. Iman kepada Allah hendaknya mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak. Pengalaman perjumpaan dengan Allah harus menggerakkan orang pada keterlibatan sosial. Dalam hal ini Gereja dan seluruh umat dipanggil untuk terlibat dalam perubahan sistem dan struktur masyarakat, memberi kontribusi pada upaya pembebasan dan keadilan, menciptakan kesejahteraan bersama dan membangun dunia menjadi lebih adil serta manusiawi.
Dalam suratnya Yakobus menegaskan kesatuan antara iman dan perbuatan. Bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (bdk. Yak. 2:14-26). Selanjutnya Rasul Paulus juga mengajak dan menggerakkan umat di Korintus untuk mengumpulkan kolekte/bantuan guna membantu jemaat Yerusalem (2 Kor. 9:7). Dasar-dasar biblis tersebut mengugah umat Kristen untuk mewujudkan solidaritas dan keterlibatan sosial Gereja melalui perhatian terhadap kaum lemah tersingkirkan. Fokus terhadap solidaritas sosial harus menjadi gerakan bersama Gereja dan umat, gerakan bersama untuk peduli dan terlibat dalam persoalan hidup masyarakat. Solidaritas sosial Gereja bisa diwujudkan dalam gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP), gerakan cinta lingkungan, pemberdayaan masyarakat lemah, tanggap darurat serta pendampingan-pendampingan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Dua pertanyaan reflektif yang dilontarkan Pastor Tarpin sehubungan dengan kualitas iman umat Katolik, yakni: Apakah hidup keagamaan kita membuat kita menjadi pribadi yang peka terhadap kebutuhan orang lain? Injil memiliki “karakter subversif”, menggugat hidup yang formalitas, kedangkalan dan berstandar ganda, lalu apa yang harus kita lakukan?*** Britto